Pada 15 Agustus 2015 lalu, saya bersama teman-teman berkunjung ke Kampung Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat. Kami tiba di sana kira-kira pukul 16.30 setelah menempuh jarak kurang lebih 30 km dari Rajapolah. "Sonten teuing, Pa. Upami tiasa mah enjing-enjing atanapi siang (Terlalu sore, Pak. Kalau bisa, datangnya pagi atau siang)", ujar seorang juru parkir berpakaian adat Sunda serba hitam (baju pangsi) plus ikat kepala membuka pembicaraan, saat saya baru turun dari mobil. "Upami enjing atanapi siang sumping ka dieuna, engke tiasa dijajapkeun ku pemandu (Kalau datangnya pagi atau siang, nanti bisa diantar oleh pemandu)", sambung juru parkir melanjutkan obrolannya dengan saya.
Memang, kedatangan kami terlalu sore, sehingga tidak banyak yang bisa
dilakukan. Sebelum menuju perkampungan, kami menyempatkan diri untuk
berfoto bersama di bawah tugu selamat datang dan beberapa obyek lainnya
di sekitar area parkir. Kami juga menyempatkan untuk masuk ke toko yang
menjual berbagai aksesori yang berkaitan dengan kampung Naga, barangkali
ada sesuatu yang cocok untuk dijadikan oleh-oleh. Akan tetapi,
ah...nanti dulu... saat pulang saja agar lebih leluasa.
Waktu yang diperlukan dari lokasi parkir menuju permukiman warga Kampung
Naga sebenarnya hanya 15 menit, tetapi karena diselingi oleh berbagai
aksi foto saat melalui jalan menurun dan berundak sambil tengok
kiri-kanan dan menghirup udara segar pedesaan, sehingga waktu yang
diperlukan pun menjadi lebih panjang, kira-kira 30 menit.
Saat tiba di lokasi permukiman kampung tersebut hari pun sudah mulai gelap. Menurut adat-istiadat yang berlaku di kampung tersebut, saat hari mulai gelap, seluruh warga harus sudah berada di dalam rumah, terutama anak-anak, sehingga suasana permukiman pun mulai sepi. Satu per satu, penghuni rumah mulai menyalakan lampu tempel/minyak untuk penerangan. Perlu di ketahui bahwa penerangan listrik pun merupakan hal yang dilarang di kampung ini. Akan tetapi, hari belum betul-betul gelap, sehingga kami masih bisa mengambil beberapa gambar di areal permukiman.
Saat itu, yang berkunjung ternyata bukan hanya kami, namun ada juga rombongan lainnya, yaitu mahasiswa Akper Sitanala Kota Tangerang, Banten. Berbeda dengan kami, yang datang tanpa pemandu dikarenakan alasan terlalu sore, kehadiran mereka didampingi pemandu. Bahkan, dikarenakan kedatangan mereka lebih awal, mereka telah mendapat izin dari seseupuh kampung tersebut untuk menginap. Saya memang tidak bertanya apa maksud dan tujuan mereka, namun saya sudah bisa menduga jika tujuan mereka adalah untuk penelitian tentang kehidupan masyarakat Kampung Naga yang masih tradisional.
Jujur saja, walaupun lokasi kampung tersebut tidak terjauh dari kampung halaman saya, Ciamis, yang tak lain tetangga dari Kabupaten Tasikmalaya, tetapi saya baru kali itu menginjakkan kaki di Kampung Naga. Selama ini, saya hanya mengetahui informasi kampung tersebut hanya dari media televisi dan media lainnya. Bahkan, kata Naga yang digunakan sebagai nama kampung tersebut berasal dari kata na gawir (Sunda, na = di/pada dan gawir = tebing/jurang), yang kemudian berubah menjadi naga, juga saya dengar dari sebuah acara televisi beberapa waktu lalu. Entah televisi apa. Saya lupa.
Kembali pada suasana di permukiman Kampung Naga. Saat itu, hari
menjelang magrib, namun masih agak terang. Sehingga kami masih sempat
mengambil gambar di depan beberapa rumah warga yang semuanya terbuat
dari bahan kayu, bambu dan bahan-bahan alami lainnya. Rumah mereka
semuanya berbentuk panggung, dengan tiang utama terbuat dari kayu.
Selain tiang utama, bahan yang terbuat dari kayu adalah lantai atau
ubin, kusen dan daun pintu. Untuk dinding rumah terbuat dari anyaman
bambu, sedangkan atapnya terbuat dari sirap atau ijuk.
Saya tidak melihat ada rumah warga yang terbuat dari tembok atau beratap
genting satu pun. Menurut adat-istiadat mereka, hal itu dilarang. Dalam
bahasa mereka disebut pamali. Mengapa bahan seperti genting
dilarang dijadikan atap rumah? Kita tahu bahwa genting terbuat dari
tanah. Dalam filosofi adat Sunda buhun (kuno), tanah tempatnya ada di bawah, fungsinya untuk diinjak, bukan ditaruh di atas. "Kalau itu dilanggar, kita bisa dapat mamala (malapetaka) dari para karuhun (para leluhur)", ujar Carma salah seorang warga yang sedikit menguasai bahasa Indonesia, bercerita kepada saya.
Setelah waktu memasuki magrib, suasana pun semakin gelap, kami pun
menuju mesjid yang letaknya tak jauh dari rumah Bapak Carma. Begitu tiba
di mesjid, saya pun takjub. Ternyata mesjidnya cukup bagus dan bersih.
Walupun terbuat dari bahan-bahan seperti kayu, bambu dan ijuk, mesjid
tersebut tampak kokoh dan indah. Penerangan di mesjid tidak menggunakan
lampu tempel, tetapi menggunakan lampu patromaks yang cahayanya lebih
terang. Menurut Bapak Carma, khusus untuk tempat atau fasilitas umum
yang biasanya tempat berkumpul orang banyak, penerangannya menggunakan
lampu patromaks. Itu pun digunakan tidak setiap saat, hanya di
waktu-waktu tertentu saja.
Setelah mengambil wudhu, kami pun shalat berjamaah bersama warga Kampung
Naga dan rombongan tamu lainnya. Ada yang unik saat warga kampung
tersebut melaksanakan ibadah shalat. Di tempat kita, pada umumnya jika
hendak shalat biasanya memakai sarung dan baju koko. Akan tetapi, warga
Kampung Naga memakai baju adat Sunda dan ikat kepala untuk kaum
laki-lakinya. Sedangkan kaum perempuannya, hampir sama dengan masyarakat
umum lainnya, menggunakan mukena. Namun demikian, untuk bacaan dan
lain-lainnya sama.
Mungkin ini yang disebut dengan kearifan lokal. Mereka menjalankan agama
bukan didasarkan pada kemasan, seperti berbusana ala Timur Tengah,
tetapi didasarkan pada substansi dari ajaran agama tersebut. Mereka
tidak berkiblat ke timur maupun ke barat, tetapi berkiblat kepada Tuhan
YME, sebagaimana termaktub dalam sebuah ayat .... Ah...saya lupa ayat
berapa dan surat apa. Yang jelas, begitu intinya.
"Hayu ah, urang uih. Da tos wengi, jabi poek ieu teh (Yuk, ah, kita pulang. Sebab sudah malam dan gelap, lagi)", ujar Wawan Rustiawan, warga Rajapolah, Tasikmalaya, teman sekaligus pemandu kami selama di Tasikmalaya mengajak pulang. Maka tanpa berpikir panjang, kami pun berpamitan kepada sesepuh warga kampung tersebut, lalu meninggalkan permukiman menuju lokasi parkir.
Sambil menyusuri jalan setapak, dengan penerangan lampu pada smartphone, saya
membayangkan apakah teman-teman saya akan kuat menaiki jalan yang
menanjak? Selain cukup panjang, tanjakannya juga curam, kurang lebih 45
derajat! Untuk diri saya pribadi, sih, yakin mampu karena sudah
terbiasa berolah raga secara rutin. Lantas bagaimana dengan teman-teman
saya yang usianya rata-rata sudah mendekati 40 tahun? Huh....rasanya
berat! Benar saja, beberapa teman saya beberapa kali berhenti untuk
istirahat
karena lelah, apalagi yang perempuan, napasnya terengah-engah.
Setelah bersusah payah melalui jalan yang menanjak, dengan kaki gemetar
dan napas terengah-engah, akhirnya, kami pun tiba di lokasi parkir
kendaraan. Setelah beristirahat sejenak sambil minum minuman ringan dan
makan snack, kami menuju toko souvenir untuk membeli oleh-oleh. Ada yang membeli replika kujang (senjata tradisional Sunda), baju pangsi,
gantungan kunci, dan lain-lain. Sedangkan saya sendiri membeli
gantungan kunci yang terbuat dari tulang sapi. Biar pun kecil tapi unik.
Buat oleh-oleh anak saya di Jakarta.
Akhirnya, waktu sudah menunjukkan pukul 20.00. Suasana pun sudah
berangsur sepi. Kami pun satu per satu mulai masuk ke mobil
masing-masing. Kami, rombongan dari Jakarta, membawa dua mobil Toyota
Avanza, sedangkan teman kami dari Rajapolah membawa mobil Suzuki Carry
model lama.
"Pak, hatur nuhun nya. 'Ke upami kadieu deui mah rada enjing, lah. Supadaos rada salse (Pak,
terima kasih ya. Nanti kalau ke sini lagi datangnya agak pagi. Agar
lebih leluasa)" kata saya kepada juru parkir berterima kasih. "Mangga, Pak", sambung saya mengucapkan selamat tinggal sambil memberikan uang parkir alakadarnya.
Kami pun tancap gas menuju Kota Tasikmalaya. Rencana kami selanjutnya adalah menikmati jajanan kuliner khas kota resik dan campernik yang konon terkenal lezat ini. Hmm...
Untuk melihat dokumentasinya, silakan Klik! Disini.