Tertutup sudah pintu,
pintu hatiku
Yang pernah dibuka
waktu hanya untukmu
Kini kau pergi dari
hidupku
Ku harus relakanmu walau tak mau
Berjuta warna pelangi
di dalam hati
Sejenak luluh
bergeming menjauh pergi
Tak ada lagi cahaya
suci
Semua nada beranjak, aku terdiam sepi
Ku harus relakanmu walau tak mau
Anda tahu judul dari lirik lagu di atas? Itu adalah lirik lagu Matahariku yang dinyanyikan oleh Agnes Monica (Agnesmo), penyanyi terkenal tanah air yang mengawali karirnya sejak kecil sebagai penyanyi cilik. Berkat suaranya yang merdu dan aksi panggungnya yang memukau, ia pun telah melanglang ke mancanegara, seperti Taiwan dan Amerika Serikat.
Baiklah, di sini saya tidak akan membahas tentang sosok Agnesmo, suaranya yang merdu dan terdengar manja, aksi panggungnya yang selalu memukau atau lagu-lagunya yang begitu digandrungi oleh kalangan anak muda. Akan tetapi, saya ingin mengajak Anda mencermati makna kata bergeming pada bait kedua dan juga baris kedua lirik lagu tersebut : sejenak luluh bergeming menjauh pergi.
Bisa jadi, Anda dan saya sepakat bahwa makna bergeming pada lagu tersebut adalah bergerak. Mengapa kita persepsikan bergerak? Mari kita lihat kembali kalimatnya : sejenak luluh bergeming menjauh pergi. Bisa kita padankan dengan kalimat : sejenak luluh bergerak menjauh pergi.
Lalu, apakah makna bergeming itu bergerak? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (KBBI) terbitan Pusat Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, kata bergeming berasal dari kata dasar geming yang berarti: diam. Sedangkan ber·ge·ming (verb/kata kerja) adalah tidak bergerak sedikit juga; diam saja; dan ter·ge·ming (verb/kata kerja) adalah terdiam.
Dengan demikian, bergeming pada kalimat sejenak luluh bergeming menjauh pergi, menurut pendapat saya, keliru. Sebaiknya, si penulis lagu jangan menggunakan bergeming pada bagian kalimat tersebut. Gunakan saja kata bergerak. Memang, yang dirasakan oleh penulis, penyanyi dan, mungkin, juga kita semua menjadi berkurang estetikanya, karena bergeming akan terasa lebih puitis ketimbang bergerak. Namun, apalah artinya sebuah lirik terasa puitis dan indah jika makna yang terkandung keliru? Lebih baik sedikit mengorbankan keindahan namun dengan makna yang tepat, bukan?
Kesalahan seperti itu sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ucapan seorang host ketika membawakan suatu acara di televisi atau obrolan-obrolan yang terjadi di masyarakat. Bahkan, terjadi juga terhadap media massa tertentu, yang biasanya merupakan media massa kategori kecil.
Beberapa tahun lalu, seingat saya, tulisan yang mengupas tentang ini sudah beberapa kali muncul di media massa, seperti Majalah Intisari, Harian Kompas dan Media Indonesia. Kita tahu, bahwa media-media tersebut tegolong besar, yang biasanya didukung oleh SDM mumpuni.
Menurut Jaya Suprana, seorang pengusaha jamu dengan merek Jamu Djago yang juga ketua Museum Rekor Indonesia (MURI), ini biasanya disebut kelirumologi.
Baiklah, tulisan ini saya sudahi dulu. Mumpung libur, saya akan beres-beres rumah dulu. Ups... kok berat sekali meja ini. Dengan sekuat tenaga saya angkat, tapi tetap tidak bergeming. Hehehe.....