Sebagian besar masyarakat Indonesia sepertinya sudah tak asing dengan "masakan padang". Sebab, kuliner ini sudah tersebar hampir di seantero tanah air. Bukan hanya di perkotaan, di pedesaan pun sudah mulai menjamur.
Alasan masakan padang bisa diterima oleh etnis lain adalah perpaduan rasa bumbu-bumbunya yang sesuai di lidah hampir semua orang. Untuk menjelaskan hal ini memang perlu ulasan tersendiri secara mendalam dan komprehensif dari para ahli. Bagaimana bisa lidah-lidah fanatik dengan kuliner daerahnya sendiri seperti lidah orang Surabaya, Madura, Jogja dan Bandung, misalnya, bisa luluh dengan masakan khas Urang Awak ini.
Dengan semakin digjayanya kuliner yang dijajakan di gerai masakan padang, seperti rendang, kikil, ayam bakar dan dendeng, kuliner Ranah Minang lainnya yang awalnya hanya dikenal di tempat asalnya pun mulai mengikuti jejak seniornya. Kuliner-kuliner yang tergolong masih Junior di Tanah Jawa tersebut adalah sate padang, soto padang dan ketupat sayur padang. Berbeda dengan kuliner yang terdapat di gerai masakan padang, tiga kuliner ini biasanya dijual hanya dalam waktu-waktu tertentu. Ketupat sayur padang dijajakan pagi hari sedangkan sate dan soto padang malam hari.
Tidak berhenti sampai di situ, kuliner dari etnis yang suka berdagang ini terus merangsek untuk keluar dari daerah asalnya. Jika kuliner di gerai masakan padang kita sebut sebagai generasi pertama, kemudian sate, soto dan ketupat sayur padang kita sebut sebagai generasi kedua, maka kuliner yang baru muncul ini bisa kita sebut sebagai generasi ketiga. Apakah nama kuliner tersebut? Namanya adalah "lotek padang".
Ya, lotek padang. Bagi saya istilah lotek bukanlah hal yang asing karena di Jawa Barat sendiri, lotek adalah kuliner yang sangat mudah didapati. Sebab, selain rasanya yang enak, cara membuatnya pun tergolong mudah. Ditambah lagi, bahan-bahannya pun mudah didapat dan murah meriah, sehingga hampir semua orang bisa membuatnya.
Namun, ketika mendengar lotek padang, saya sempat mengernyitkan dahi. Jika tidak menyaksikan secara langsung, bisa jadi saya tidak percaya kalau ada kuliner bernama lotek padang. Namun, karena penjualnya yang berasal dari Kota Padang ini memberikan penjelasan yang cukup meyakinkan, saya pun percaya. Betul, bahwa orang Minang ternyata memiliki kuliner yang bernama lotek padang.
Untuk menghilangkan rasa penasaran, saya pun memesannya satu porsi untuk dimakan di tempat. Kuliner yang saya temui di bilangan Kota Tangerang ini memang baru buka pada H+2 Lebaran tahun ini. Jadi, saya dan masyarakat non-Minang lainnya, mungkin, baru tahu. Di sela-sela membuatkan pesanan saya, penjualnya saya ajak ngobrol tentang hal-hal yang berkaitan dengan lotek padang.
"Kalau jenis sayurannya mungkin sama seperti lotek khas Sunda. Cuma bedanya di lotek padang ini disertakan mie kuning sebagai campurannya," kata Uni Ibit, nama penjual lotek padang.
Selain mie, yang membedakan lotek padang dengan lotek sunda adalah tidak menggunakan terasi sebagai bahan baku bumbunya. Cukup dengan kencur dan air perasan jeruk nipis kemudian diulek dengan campuran cabe rawit, bawang putih, gula merah dan kacang tanah yang telah digoreng. Sedangkan sayurannya adalah kol, timun, kacang panjang, kecambah, kentang dan sawi. Khusus untuk kacang panjang, kecambah dan kentang sudah dalam keadaan matang, sedangkan yang lainnya dalam keadaan mentah. Selain sayuran, biasanya juga ditambahkan tahu yang telah digoreng.
Melihat komposisi dari kuliner tersebut, baik sayuran maupun bumbunya, juga cara mengolah dan menyajikannya, dalam hati saya malah beranggapan bahwa ini bukanlah lotek, melainkan gado-gado betawi. Namun, tentu saja orang Minang punya alasan sendiri untuk menyebut kuliner tersebut sebagai lotek. Hehehe.
Harga per porsi lotek padang yang dijajakan Uni Ibit ini cukup terjangkau. Cukup dengan Rp10 ribu saja jika tanpa ketupat, atau Rp 12 ribu jika dengan ketupat. Sensasi pedas lotek padang ini dijamin akan membuat Anda ketagihan.