Secara teologis, kehadiran sosok sejarah bernama Yesus sebagai peletak dasar agama Nasrani dan Muhammad sebagai peletak dasar agama Islam telah memberikan sumbangan sangat besar pada peradaban dan sejarah manusia sejagat. Pengaruh mereka masih berlangsung terus sampai hari ini.
Berdasarkan perhitungan statistis-demografis, pengikut dua agama tersebut menempati urusan terbesar, di luar kualitas dan loyalitas pengikut dalam menjalankan ajaran secara benar dan konsekuen.
Nama Yesus dan Isa menurut sebuah kajian historis ialah sosok yang sama, dengan sebutan yang berbeda semata karena pergeseran ucapan.
Isa, Yesaa, Yeshua, Yesus kesemuanya menunjuk pada aktor sejarah yang sama. Perubahan ucapan itu mirip dengan apa yang terjadi pada pemain bola dari Afrika atau Arabia, setelah pindah ke Eropa lalu berubah nama panggilannya seperti Zainuddin menjadi Zidan, Yusuf jadi Joseph, Ibrahim menjadi Abraham. Begitu pun beberapa nama Mehmet di Turki atau Memet di Sunda aslinya ialah Muhammad. Di Indonesia Timur, Abdurrahman bisa berubah menjadi Bedu Amang.
Karena kelahiran Muhammad jauh di belakang Yesus, yaitu 671 M, logis dan wajar saja jika pencatatan riwayat hidupnya lebih komplet dan transparan di mata sejarawan. Tak ada sejarah rasul Tuhan yang riwayat hidupnya tercatat sedemikian komplet kecuali Nabi Muhammad. Bahkan ucapannya yang dianggap autentik dan yang palsu pun terdokumentasikan dengan baik.
Dalam riwayat hidup Yesus banyak penggalan yang sulit ditelusuri sejarawan. Termasuk kompilasi dokumen tertulis ajaran yang disampaikan yang kemudian dihimpun dalam Kitab Injil.
Terlebih sosok Rasul Tuhan seperti Adam, Idris, Nuh, dan Sulaiman, para sejarawan kesulitan menemukan dan mengumpulkan informasi riwayat hidup mereka secara lengkap dan autentik. Itu semata alasan historis, bukan substansi kebenaran ajaran mereka karena semua nabi membawa ajaran dari sumber yang sama, Tuhan semesta alam.
Di luar perdebatan dan tafsiran terhadap ajaran yang diwariskan para rasul Tuhan, kedua sosok Yesus dan Muhammad telah menginspirasi dan menggerakkan jutaan bahkan miliaran orang untuk memperjuangkan cita-cita hidup berlandaskan moralitas agung. Sebuah moralitas yang berasal dari Tuhan yang kemudian menjadi hukum kemanusiaan universal. Tak ada sosok sejarah yang sangat dicintai umatnya, dijadikan model keteladanan hidup, bahkan umatnya rela mati jika kemuliaannya dihinakan, kecuali Yesus dan Muhammad.
Ironisnya, karena perbedaan paham, penafsiran, dan kepentingan politik dari para pengikutnya, pernah terjadi Perang Salib, perang antara pemeluk Nasrani dan Islam. Padahal, asal usul agama itu ialah dari Tuhan yang sama yang mengajarkan cinta kasih dan perdamaian.
Perbedaan paling fundamental antara pemeluk Nasrani dan Islam terletak pada penafsiran dan keyakinan posisi Yesus. Bagi umat Islam, Yesus atau Isa ialah rasul Tuhan sebagaimana sosok rasul yang lain, dengan mengajarkan keimanan dan akhlak mulia.
Umat Islam akan dicap kafir jika mengingkari kerasulan Yesus atau Isa. Umat Islam akan juga marah jika Yesus sebagai rasul Allah dihinakan martabatnya dan diingkari ajarannya.
Namun, bagi umat Kristiani, Yesus diyakini sebagai Juru Selamat yang dalam dirinya Allah bertajali dan berinkarnasi, menyatunya Sang Tuhan dan hamba, mirip pengalaman spiritual kalangan sufi. Hanya, dalam dunia sufi, tajali Allah itu hanya sesaat, sedangkan dalam Yesus bersifat permanen sejak kelahirannya. Maka, terkenal ungkapan bahwa Yesus sebagai jalan keselamatan yang telah mengalahkan dosa manusia, yang tidak mungkin mampu manusia mengalahkan dosa itu, kecuali Tuhan sendiri yang menjelma dalam manusia Yesus demi keselamatan manusia. Yesus sang penebus dosa.
Jadi, sesungguhnya baik Yesus maupun Muhammad keduanya sebagai 'juru selamat', tapi dalam konsep dan formula yang berbeda. Keduanya merupakan instrumen Allah untuk melakukan misi keselamatan dan kebahagiaan hidup manusia. Dalam konteks Yesus, iman Kristen meyakini penyatuan Tuhan dan Yesus dalam menaklukkan dosa manusia. Yesus ialah firman yang hidup mendunia. Jesus is the way. Paham yang ortodoks, Jesus is the only way.
Dalam konteks Muhammad, kehadiran Allah melalui firman-Nya yang terhimpun dalam Alquran. Jadi, Alquran ialah firman yang kemudian tertulis, lalu Muhammad sebagai perantara dan juru tafsirnya.
Karena mengingat Yesus dan Muhammad lebih daripada sekadar tokoh sejarah, melainkan figur metahistoris yang direspons dengan sikap iman oleh pengikut mereka, pembahasan terhadap kedua tokoh itu mesti dibedakan, apakah kita akan mendiskusikannya dalam jalur historis-ilmiah ataukah akan mendekati secara iman. Ini dua hal yang berbeda.
Sikap yang pertama banyak dilakukan ilmuwan di Barat sekalipun belum tentu sebagai pribadi yang taat beragama. Mereka mengkaji semata sebagai riset ilmiah. Pendekatan kedua, yakni sikap dan pilihan iman, sudah tentu justru hanya akan menimbulkan tengkar jika umat Islam dan Kristen memaksakan keyakinan masing-masing agar diterima pihak lain.
Keyakinan beragama itu melampaui nalar matematis. Tidak mungkin ditemukan pendapat dan kesimpulan akhir yang sama dan seragam. Makanya kata religions selalu berkonotasi plural, jamak, karena di muka bumi memang terdapat pluralitas agama yang tidak mungkin dilebur menjadi satu.
Sekali lagi, karena faktor kesejarahan, sejarah Muhammad memang lebih terang benderang di mata kritikus sejarah. Riwayat hidupnya, sejak lahir sampai wafat, semua mudah ditelusuri jika dibandingkan dengan sejarah Yesus. Namun, karena keduanya pembawa mukjizat Ilahi, yang membuat mereka berpengaruh pada dunia bukan soal akurasi tanggal lahir dan wafat, melainkan ajaran mereka.
Berapa miliar penduduk bumi yang meyakini telah mendapatkan jalan keselamatan dan kebahagiaan oleh kehadiran Yesus dan Muhammad? Tak terhitung orang tumbuh menjadi orang baik, menjadi penolong sesama, karena terinspirasi oleh kedua tokoh itu.
Sementara itu, ada saja yang terlibat permusuhan dengan dalih membela kedua tokoh itu, padahal keduanya mengemban misi yang sama. Instrumen Tuhan untuk menyebarkan kasih dan membangun peradaban. Lakum dinukum waliyadin. Bagimu agamamu, bagiku agamaku.
Oleh : Komaruddin Hidayat, Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatulloh.
Sumber : www.mediaindonesia.com
Tanggal : 23-12-2015