Jakarta adalah ibu kota soto-soto. Varian soto berkumpul di sini. Salah satunya adalah sroto sokaraja. Soto versi Banyumas ini bergabung dengan rekan sebangsanya, yaitu soto betawi, soto madura, coto makassar, soto lamongan, soto padang, soto bandung, soto banjar, dan lain-lain.
Sebelum beranjak ke dalam hal-hal mendetil tentang sroto sokaraja, seperti rasa, bahan-bahan, dan gerai-gerainya, saya ingin mengajak Anda berdikusi tentang perubahan kata "soto" menjadi "sroto" dan tentang hiasan dinding berupa gambar para punakawan dalam kisah pewayangan.
Sebagai orang yang lahir dan besar di daerah perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah, tepatnya di Lakbok, Ciamis, Jawa Barat, dimana budaya dan bahasa sehari-harinya adalah campuran Sunda-Jawa, mungkin saya bisa sedikit memberikan interpretasi tentang perubahan kata "soto" menjadi "sroto". Tapi, hal ini tentu saja merupakan pendapat pribadi, bukan hasil pencarian di google, hasil penggalian dari jurnal-jurnal ilmiah, dan lain-lain. Dalam Bahasa Jawa banyumasan (ngapak-ngapak), kata-kata tertentu biasanya disisipkan huruf "R" antara huruf pertama dan kedua. Huruf pertama ini biasanya berupa konsonan (huruf mati), sedangkan huruf keduanya vokal (huruf hidup). Sebagi contoh, kata "sandal". Huruf pertamanya adalah "S" (konsonan) dan huruf keduanya adalah "A" (vokal). Maka, jika diantara "S" dan "A" disisipkan huruf "R", kata "sandal" akan berubah bunyi menjadi "srandal". Dan, dalam kosa kata bahasa Jawa banyumasan, kata "srandal" ini memang benar-benar ada, yang artinya, ya, "sandal".
Namun demikian, tidak semua kata dalam bahasa Jawa banyumasan bisa disisipkan huruf "R". Jika saya hitung-hitung, sih, tidak begitu banyak. Contohnya, duh.... tenyata saya sudah banyak yang lupa. Hehehe.... Mungkin jika ada yang masih ingat, silahkan sebutkan sendiri, ya.
Selanjutnya, mengapa gambar punakawan dalam kisah pewayangan selalu menghiasi dinding kedai makan sroto sokaraja? Menurut budayawan dan novelis Ahmad Tohari, banyumasan merupakan masyarakat egaliter, menempatkan manusia dalam posisi sejajar. Kultur masyarakat banyumasan memang berbeda dengan kultur masyarakat Jawa yang ada di Jogja - Solo dan sekitarnya. Sejarah memang berbicara demikian, di wilayah Jogja - Solo dari dulu hingga sekarang dikenal adanya keraton. Kita tahu bahwa keraton adalah tempatnya para bangsawan Jawa, sehingga terdapat sistem hierarki dalam masyarakatnya, yaitu bangsawan dan orang biasa. Nah, di daerah Banyumas dan sekitarnya hampir tidak mengenal hierarki seperti itu. Maka lukisan atau gambar sebagai hiasan dindingnya pun berupa para punakawan (para pelayan raja), bukan para kstaria seperti Yudhistira, Werkudara (Bhima), Janaka (Arjuna), Nakula dan Sadewa (biasa disebut dengan istilah Pandawa lima). Para punakawan tersebut biasanya adalah Semar, Bagong, Petruk dan Gareng. Uniknya lagi, Bagong versi banyumasan biasanya disebut Bawor. Hehehe....
Cukup, ya, penjelasan tentang kata "sroto" dan "punakawan". Selanjutnya, mari kita kupas tentang bahan-bahan pembentuk sroto sokaraja ini. Berbeda dengan varian soto lain, sroto sokaraja menggunakan kacang tanah tumbuk sebagai campurannya. Si kacang inilah yang menjadikan sang sroto berkuah bening itu terasa gurih dan segar. Ada pilihan daging ayam, daging sapi, atau campuran keduanya. Semua sama-sama membekaskan rasa gurih dan segar. Kegurihan terasa khas kala kacang tanah tumbuk itu berpadu dengan kaldu ayam atau kaldu daging sapi. Ditambah dengan remukan kerupuk merah dan tauge, semangkuk sroto terasa mantap di lidah.
Selain bumbu dasar standar, sroto menyertakan bumbu berupa kamijara atau serai. Tidak seperti bumbu kacang pada pecel, bumbu kacang pada sroto tidak menggunakan kencur. Kacang cukup ditumbuk dengan cabe, bawang merah, bawang putih dan bumbu lain yang dirahasiakan.
Bukan banyumasan kalau belum ada tempe mendoan. Maka, kedai sroto pun biasanya menyediakan mendoan, tempe tipis bersaput tepung, bercampur irisan tipis daun bawang. Tempe digoreng mendo alias seperempat matang. Untuk mendapatkan mendoan ideal, tempe harus digoreng dalam wajan dengan minyak yang melimpah. Minyak harus dalam kondisi tua atau panas. Tempe digoreng kurang dari satu menit. Goreng, celup, balik, lalu angkat.
Bagaimana, tertarik ingin mencicipi sroto sokaraja dan mendoannya? Kedai sroto sokaraja di Jabodetabek, saya perhatikan tidak begitu banyak, Bisa jadi, Anda sulit menemukannya. Jika Anda sedang berada di daerah Kebon Jeruk, Ciledug dan sekitarnya, Anda bisa datang ke jalan Bazoka Raya, Kavling Hankam, Joglo, Jakarta Barat. Letaknya tidak jauh dari Sekolah Islam Al-Bayan atau pintu belakang Komplek Real Estate Puri Beta I.