Penjelajah tersebut, baik muslim maupun non muslim, rata-rata berasal dari luar Nusantara (Indonesia, Malaysia dan negara-negara ASEAN lainnya). Belum pernah kita mendengar, satu nama saja yang tercatat dalam sejarah, penjelajah asal Nusantara. Mengapa demikian?
Bisa jadi, masyarakat Nusantara kala itu belum memiliki wawasan seperti bangsa Eropa dan Timur Tengah yang, rata-rata kala itu, berwawasan global. Dulu, penduduk Nusantara masih menjadi sasaran penyebaran paham dari Asia Selatan (Hindu-Budha), Timur Tengah (Islam) dan Eropa (Kristen). Namun, kini tampaknya sudah tidak lagi. Nusantara sudah memiliki ciri khas tersendiri yang sama sekali berbeda dengan budaya atau paham sumbernya. Maksud berbeda di sini bukanlah dalam hal substansinya, namun lebih kepada kemasan atau teknis pelaksanaannya. Sebagai contoh, muslim di Nusantara biasa menggunakan songkok, sarung dan baju koko. Suatu busana yang tidak dikenal di tempat asalnya, yaitu Timur Tengah. Penduduk Nusantara, setelah melalui proses yang sangat panjang, telah menjadi pribadi-pribadi yang toleran, optimistik dan berpandangan jauh kedepan.
Hal itu terjadi, tentu saja, tidak begitu saja seperti membalikkan telapak tangan. Akan tetapi melalui interaksi yang terjadi secara terus-menerus, baik dalam kawasan domestik, regional maupun global. Selain itu, transformasi tersebut juga dipercepat oleh masuknya ilmu pengetahuan modern yang telah berkembang sedemikian rupa, melintasi sekat-sekat negara, etnis dan golongan. Ditambah lagi, saat ini, belahan dunia dapat diakses hanya dengan satu sentuhan menggunakan teknologi informasi alias internet. Sehingga wawasan masyarakat yang ada di Nusantara sudah bisa disejajarkan dengan wawasan masyarakat di belahan dunia lain.
Sebagi wujud dari telah diserapnya wawasan global tersebut oleh masyarakat yang ada di Nusantara, saya mengambil contoh satu sosok saja dari sekian banyak sosok yang ada, yang sedang merintis untuk menjelajah dunia. Ia adalah Gito Sugito. Pria asal Sliyeg, Indramayu, ini memilih olah raga sepeda sebagai sarana untuk bisa menjelajah dunia. Sebagai tahap awal, dalam waktu dekat, ia akan melakukan ekspedisi di Pulau Jawa, yang dimulai dari Anyer hingga ke Panarukan, pergi - pulang (PP), dengan jarak tempuh 2.635 kilometer (km), dan perkiraan waktu yang dibutuhkan adalah 24 hari. Wow.....
Pertanyaannya, bagaimana bisa seorang Gito Sugito akan mampu mengayuh sepeda sejauh itu? Tentu saja bisa. Pria berusaia 34 tahun ini merencanakan ekspedisi sejauh ini bukan tanpa dasar. Selain dengan melakukan latihan rutin dan intensif, kehidupan sehari-harinya pun tidak pernah lepas dari aktivitas bersepeda. Jika orang lain berangkat kerja dari rumah ke kantor menggunakan kendaraan bermotor atau kendaraan umum, ia justru menggunakan sepeda. Bayangkan, setiap hari ia berangkat kerja dari rumahnya di Lenteng Agung, Jakarta Selatan ke bilangan Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan, dengan menggowes sepeda.
Bisa jadi, sebagian dari Anda ada yang berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh Gito Sugito itu juga dilakukan oleh orang lain. Sebagai contoh, Komunitas Bike to Work di Jabodetabek. Jadi, tidak terlalu istimewa. Boleh saja Anda berpikir seperti itu. Namun, terlepas dari istimewa atau tidak, setidaknya ia tercatat telah melakukan eksepdisi lebih dari sepuluh kali, mulai dari jarak menengah, jauh hingga sangat jauh. Durasinya pun beragam, mulai dari setengah hari, satu hari, tiga hari bahkan lebih dari satu pekan.
Sebagaimana yang dituturkan kepada saya, di penghujung 2016 lalu, ia diminta untuk mendampingi beberap sahabatnya menyusuri pesisir Samudera Hindia di Selatan Pulau Jawa. Perjalanan yang memakan waktu tiga hari tersebut, dimulai dari RM Asep Strowberry di Bandung hingga ke Pantai Santolo di Garut. Hari berikutnya, perjalanan pun dilanjutkan ke Pantai Pangandaran. Dan hari ketiga, untuk kembali pulang ke Jakarta, perjalanan pun tetap menggunakan sepeda. Dalam perjalan pulang ini, ia dan beberapa sahabatnya tersebut tidak lagi menyusuri pinggiran pantai Selatan, tetapi melalui jalur yang biasa dilalui oleh pengguna transportasi publik, yaitu Pangandaran, Kalipucang, Banjarsari, Banjar hingga ke Objek Wisata Ciung Wanara di Karang Kamulyan, Cijeungjing, Ciamis.
Disebabkan oleh medan yang terus menanjak dan berkelok-kelok, perjalanan dengan menggowes sepeda pun dihentikan sampai di situ.
Mengapa seorang Gito Sugito bisa jatuh cinta dengan olah raga sepeda? Bahkan, hingga mendarah daging? Lantas, apa motivasinya ingin menjelajah Pulau Jawa?
Nantikan kisah selanjutnya.
*** Dalam kisah selanjutnya, Gito Sugito bercerita tentang ekspedisinya pada 2008 silam, yang menghabiskan waktu 16 hari. Start dari kampung halamannya di Indramayu hingga ke Pulau Madura (PP), dengan jarak tempuh 2.000 km