Saat mudik ke kampung halaman, harapan saya tentu menikmati makanan yang original atau asli. Belum bercampur dengan bahan-bahan lain seperti pewarna, pengawet dan perasa sintetis. Hal tersebut cukup beralasan karena kampung halaman saya merupakan daerah agraris, dimana penduduknya sebagian besar masih bercocok tanam.
Sebagai contoh, jika akan memasak sayur berkuah santan, tidak perlu membeli kelapa untuk diparut dan diambil santannya. Tetapi cukup memanjat pohon kelapa lalu memetiknya kemudian dikupas hingga diperoleh hasil akhir yaitu santan.
Itulah harapan saya dan, mungkin, juga Anda. Namun, kini, hal itu tinggallah kenangan. Saat saya meminta secangkir kopi hitam asli, jawaban orang tua dan saudara-saudara "tidak ada". Justru mereka menawarkan saya kopi yang sudah dikemas bikinan pabrik.
Sungguh ironi. Mengapa tanah yang sedemikian suburnya tidak ditanami komoditas-komoditas yang laku di pasaran? Mengapa mereka ikut-ikutan menjadi konsumtif seperti kaum urban yang ingin serba praktis? Globalisasi ternyata telah mencuci otak mereka. Menggeser budaya produktif menjadi konsumtif.
Kini, hampir seratus persen masyarakat di kampung halaman saya sudah diracuni oleh iklan. Mereka percaya bahwa minum kopi yang keluar dari dubur musang, misalnya, dapat meningkatkan energi, meningkatkan gairah hidup dan sebagainya.
Logika berpikirnya dibuat kacau. Bagaimana bisa kopi yang diracik dengan susu dan gula dihargai hanya seribu perak per sachet-nya? Berapa ongkos produksinya? Berapa harga dasar kemasanya, kopinya, susu dan gulanya? Berapa biaya transportasi dan distribusinya? Jelas tak masuk akal.
Akankah masyarakat dibiarkan larut dalam keadaan seperti itu? Atau justru sebaliknya, masyarakat kembali disadarkan dari buaian mimpi iklan-iklan perusahaan besar. Bahkan, kembali diajak menanam komoditas-komoditas penting dan laku di pasaran. Jika demikian, maka kelak anak-cucu kita akan mengalami sebagaimana masa kecil saya, dimana saya minum kopi asli hasil panen dari kebun nenek saya yang juga disangrai dan ditumbuk sendiri olehnya.
Semoga.