Pak, ini sambalnya enak," spontan saya berkata kepada seorang lelaki tua di depan saya. Saya sampaikan jika sambal ijo di warung makan padang milik lelaki tua tersebut lain daripada yang lain. Rasa dan aroma bawang merahnya cukup kuat. Penasaran, sambal pun saya aduk-aduk dan ditemukanlah sepotong daun kunyit yang turut layu bersama cabe, dan bawang merah. Berbeda dengan cabe dan bawang merah yang hancur karena diulek, daun kunyit ini justru bentuknya masih utuh.
Dari situlah obrolan mulai mengalir.
Ahmad Bakrie, demikian nama pemilik warung makan tersebut, mengatakan bahwa masakan di warungnya masih mempertahankan tradisi leluhur, baik bumbu maupun bahan-bahan pokoknya. Demikian juga dalam hal pengolahan masakannya. Biarpun, sudah ada teknologi modern yang bisa mempercepat pengolahan makanan, blender, misalnya, dia tidak mau menggunakannya. Menurutnya, jika hal itu dilakukan, akan mengubah rasa masakan. Bukan hanya jadi kurang enak namun melanggar tradisi adat Minangkabau.
"Betul, Pak, ini rendangnya enak sekali," saya menyambung obrolan sambil menjilati jari-jari tangan saya yang berlumuran bumbu rendang dan sambal disebabkan oleh saking enaknya. Sebelumnya, saya belum pernah merasakan masakan padang seenak ini, baik yang di kaki lima maupun yang di restoran. Biarpun diantaranya ada yang enak, namun masih kalah jauh dengan masakan padang yang ini.
Menurut pria asal Pariaman ini, mengapa masakannya bisa enak, pertama sebagaimana dijelaskan di atas, dia tidak keluar dari pakem adat Minangkabau. Kedua adalah jam terbang. Dia telah memulai berdagang masakan padang sejak tahun 1985. Jelas, melihat dua faktor tersebut, pantas saja jika masakannya sangat enak.
Jika melihat warungnya yang cukup sederhana, memang saya, mungkin juga Anda, tidak akan menyangka jika masakannya bisa seenak itu. Warung ini berada diantara deretan kios-kios sewaan lainnya yang juga terbilang sederhana, di jalan Bazooka Raya, samping Sekolah Islam Al-Bayan, Larangan, Tangerang, Banten. Hanya beberapa ratus meter dari pintu belakang real estate Puri Beta dan di sebrangnya adalah Kavling Hankam, Joglo, Jakarta Barat. Jadi lokasi warung ini berada di perbatasan antara Banten dan DKI.
Lingkungan sekitarnya cukup asri, rindang, sejuk dan, tentu saja, bersih. Tempat parkir pun luas.
Untuk mendukung agar kios-kios tersebut ramai oleh pembeli, Sekolah Al-Bayan, sebagai penggagasnya, sengaja membuat garis-garis agar mobil bisa parkir dengan tertib. Tujuannya adalah agar para orang tua, sopir atau pengasuh merasa nyaman saat menunggui atau menjemput anak-anak pulang sekolah. Dengan demikian, mereka selain bisa leyeh-leyeh di dalam mobil, juga bisa menikmati makanan enak, salah satunya, di warung masakan padang tersebut.
RM. Kurnia Jaya, demikian nama warung makan tersebut, memang belum lama buka di tempat tersebut. "Dua hari sebelum puasa, Pak," jawab anak perempuan Ahmad Bakrie. Semenjak saya pesan, hingga beberapa orang pembeli lainnya, memang dia yang melayani. Pikir saya, mungkin dialah penerus RM Kurnia Jaya. "Memang sebelum di sini di mana?" sambung saya. Menurut pria yang wajahnya mirip H. Agus Salim tersebut, sebelumnya di Palu, Sulawesi Tengah. Namun, karena letaknya yang sangat jauh dari kampung halamannya, dia dan anaknya memutuskan pindah ke Jakarta. "Di sana hanya bertahan satu setengah tahun," jawabnya. Ditambah lagi, di Palu cuacanya sangat panas sehingga kurang nyaman untuk tinggal. Padahal, yang menjual masakan padang masih sangat jarang, bisa dihitung dengan jari. Minim saingan.
Di Palu juga, dia sudah memiliki ruko dua lantai yang dia dijadikan tempat tinggal sekaligus rumah makan.
Sebelum di Palu, sambunnya, dia berjualan di Pariaman. Namun, karena Pariaman hanyalah kota kecil, tentulah usahanya sulit untuk menjadi besar. Maka dari itu, dia mencoba peruntungannya, merantau ke nagari urang, Palu dan Jakarta.
Dari situlah obrolan mulai mengalir.
Ahmad Bakrie, demikian nama pemilik warung makan tersebut, mengatakan bahwa masakan di warungnya masih mempertahankan tradisi leluhur, baik bumbu maupun bahan-bahan pokoknya. Demikian juga dalam hal pengolahan masakannya. Biarpun, sudah ada teknologi modern yang bisa mempercepat pengolahan makanan, blender, misalnya, dia tidak mau menggunakannya. Menurutnya, jika hal itu dilakukan, akan mengubah rasa masakan. Bukan hanya jadi kurang enak namun melanggar tradisi adat Minangkabau.
"Betul, Pak, ini rendangnya enak sekali," saya menyambung obrolan sambil menjilati jari-jari tangan saya yang berlumuran bumbu rendang dan sambal disebabkan oleh saking enaknya. Sebelumnya, saya belum pernah merasakan masakan padang seenak ini, baik yang di kaki lima maupun yang di restoran. Biarpun diantaranya ada yang enak, namun masih kalah jauh dengan masakan padang yang ini.
Menurut pria asal Pariaman ini, mengapa masakannya bisa enak, pertama sebagaimana dijelaskan di atas, dia tidak keluar dari pakem adat Minangkabau. Kedua adalah jam terbang. Dia telah memulai berdagang masakan padang sejak tahun 1985. Jelas, melihat dua faktor tersebut, pantas saja jika masakannya sangat enak.
Jika melihat warungnya yang cukup sederhana, memang saya, mungkin juga Anda, tidak akan menyangka jika masakannya bisa seenak itu. Warung ini berada diantara deretan kios-kios sewaan lainnya yang juga terbilang sederhana, di jalan Bazooka Raya, samping Sekolah Islam Al-Bayan, Larangan, Tangerang, Banten. Hanya beberapa ratus meter dari pintu belakang real estate Puri Beta dan di sebrangnya adalah Kavling Hankam, Joglo, Jakarta Barat. Jadi lokasi warung ini berada di perbatasan antara Banten dan DKI.
Lingkungan sekitarnya cukup asri, rindang, sejuk dan, tentu saja, bersih. Tempat parkir pun luas.
Untuk mendukung agar kios-kios tersebut ramai oleh pembeli, Sekolah Al-Bayan, sebagai penggagasnya, sengaja membuat garis-garis agar mobil bisa parkir dengan tertib. Tujuannya adalah agar para orang tua, sopir atau pengasuh merasa nyaman saat menunggui atau menjemput anak-anak pulang sekolah. Dengan demikian, mereka selain bisa leyeh-leyeh di dalam mobil, juga bisa menikmati makanan enak, salah satunya, di warung masakan padang tersebut.
RM. Kurnia Jaya, demikian nama warung makan tersebut, memang belum lama buka di tempat tersebut. "Dua hari sebelum puasa, Pak," jawab anak perempuan Ahmad Bakrie. Semenjak saya pesan, hingga beberapa orang pembeli lainnya, memang dia yang melayani. Pikir saya, mungkin dialah penerus RM Kurnia Jaya. "Memang sebelum di sini di mana?" sambung saya. Menurut pria yang wajahnya mirip H. Agus Salim tersebut, sebelumnya di Palu, Sulawesi Tengah. Namun, karena letaknya yang sangat jauh dari kampung halamannya, dia dan anaknya memutuskan pindah ke Jakarta. "Di sana hanya bertahan satu setengah tahun," jawabnya. Ditambah lagi, di Palu cuacanya sangat panas sehingga kurang nyaman untuk tinggal. Padahal, yang menjual masakan padang masih sangat jarang, bisa dihitung dengan jari. Minim saingan.
Di Palu juga, dia sudah memiliki ruko dua lantai yang dia dijadikan tempat tinggal sekaligus rumah makan.
Sebelum di Palu, sambunnya, dia berjualan di Pariaman. Namun, karena Pariaman hanyalah kota kecil, tentulah usahanya sulit untuk menjadi besar. Maka dari itu, dia mencoba peruntungannya, merantau ke nagari urang, Palu dan Jakarta.