Memiliki predikat sebagai anak petani dan anak desa ternyata tidak serta merta menjadi mahir dalam bercocok tanam. Hal itu terbukti dari tanaman kangkung yang saya tanam belum sesuai harapan. Pohon kangkung tumbuh kurus dan daunnya kecil-kecil. Sehingga ketika ada terpaan angin, pohon-pohon tersebut banyak yang roboh disebabkan oleh besar dan tingginya yang tidak proporsional.
Usut punya usut, hal itu terjadi karena penyemaian biji yang terlalu rapat sehingga tidak ada ruang untuk tumbuh ke samping (penggemukan). Saat masih berwujud kecambah, memang tampak begitu bagus. Namun setelah besar tampak pertumbuhannya terhambat.
Namun demikian, hal tersebut tidak membuat saya kecewa. Setidaknya, kondisi tersebut telah memberikan pelajaran berharga bahwa bercocok tanam itu, tidak asal menancapkan tanaman atau menyemai biji, namun banyak aspek non teknis yang harus diperhatikan. Andai saya tidak menyoba sama sekali, mungkin saya hanya bisa berteori. Misal, jika melihat tanaman petani yang tanamannya buruk, pasti saya akan beropini : "wah, petaninya kurang rajin, kurang pupuk, dan sebagainya". Apa yang saya tanam saat ini hitung-hitung sebagai laboratorium penelitian.
Oh, ya, biarpun kangkungnya kurus-kurus, namun tetap saya panen. Karena jika dimasak, tampaknya akan tetap lezat. Sebagai penyuka olahan masakan dari kangkung, maka kangkung yang saya panen malam ini, akan saya masak menjadi tumis kangkung atau cah kangkung untuk sahur esok hari. Biasanya, masakan kangkung favorit saya, dibubuhi teri medan dan irisan tempe atau oncom. Dan, tak lupa juga irisan cabe sebagai stimulan untuk menggugah selera makan.
Hmmm, cukup menggugah selera. Jadi, tidak sabar ingin segera makan sahur.
#UrbanFarming
#RamadhanPenuhBerkah